EKONOMI INDONESIA PADA MASA
ORDE BARU (1965-1998)
Orde Baru adalah
sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Tepatnya
sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda
dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah
lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan
ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali
hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia
juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter
International (IMF). Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai,
terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan
politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan
tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi
defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi,
termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.
Arah dan kebijakan
Ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah Orde Baru diarahkan pada pembangunan
disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan orde baru bertumpu pada program yang
dikenal dengan Trilogi Pembangunan, yaitu sebagai berikut :
a)
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b)
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
c)
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi tidak membuat rakyat bebas dari kemiskinan di karenakan pertumbuhan
ekonomi yang hanya di nikmati oleh segelintir orang saja. Dampak negatif yang
di timbulkan pada masa orde baru ini adalah:
1. Ketergantungan Terhadap Migas
Migas merupakan salah satu
sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja Negara. Jadi harga Migas sangat
berpengaruh bagi pendapatan Negara sehinnga turunnya harga minyak mengakibatkan
turunya pendapatan Negara.
2. Ketergantungan Terhadap Bantuan Luar Negeri.
Akibat berkurangnya
pendapatan yang di dapat dari Migas, pemerintah melakukan kembali penjadwalan
proyek-proyek pembangunan yang ada, yang terutama yang menggunakan valuta
asing. Mengusahakan peningkatan ekspor komoditi non migas dan terakhir meminta
peningkatan pinjaman luar negeri kepada negara– negara maju. Tahun 1983,
Indonesia negara ketujuh terbesar dalam jumlah hutang dan tahun 1987 naik ke
peringkat keempat. Ironisnya, di tahun 1986/87, sebanyak 81% hutang yang
diperoleh untuk membayar hutang lama ditambah bunganya. Akhir 1970-an, proses
pembangunan di Indonesia mengalami “non market failure” sehingga banyak
kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan
meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”.
Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi
kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme
kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan
berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal
1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan
“structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut
:
a. Program
stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan dalam bentuk
kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan menurunkan
tingkat permintaan agregat. Dalam hal ini pemerintah melakukan berbagai
kebijakan mengurangi defisit APBN dengan memotong atau menghapus berbagai
subsidi, menaikkan suku bunga uang (kebijakan uang ketat) demi mengendalikan
inflasi, mempertahankan nilai tukar yang realistik (terutama melalui devaluasi
September 1986).
b. Kebijakan
struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi dan alokasi
sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat pengendalian harga, pajak,
subsidi dan berbagai hambatan perdagangan, tarif maupun non tarif. Kebijakan
“Paknov 1988” yang menghapus monopoli impor untuk beberapa produk baja dan
bahan baku penting lain, telah mendorong mekanisme pasar berfungsi efektif pada
saat itu.
c. Kebijakan
peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan tabungan dan
investasi. Perbaikan tabungan pemerintah melalui reformasi fiskal, meningkatkan
tabungan masyarakat melalui reformasi sektor finansial dan menggalakkan
investasi dengan cara memberi insentif dan melonggarkan pembatasan.
d. Kebijakan
menciptakan lingkungan legal yang bisa mendorong agar mekanisme pasar beroperasi
efektif termasuk jaminan hak milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti
reformasi hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan
berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu.
Dampak
dari kebijakan tersebut cukup meyakinkan terhadap ekonomi makro, seperti
investasi asing terus meningkat, sumber pendapatan bertambah dari perbaikan
sistem pajak, produktivitas industri yang mendukung ekspor non-migas juga
meningkat. Namun hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9
milyarHutang inilah sebagai salah satu faktor penyebab Pemerintahan Orde Baru
runtuh.
Pemerintahan Orde Baru membangun ekonomi hanya
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengendalian inflasi
tanpa memperhatikan pondasi ekonomi yang memberikan dampak sebagai berikut:
a) Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia, sebagai salah satu faktor produksi,
tidak disiapkan untuk mendukung proses industrialisasi.
b) Barang–barang
impor (berasal dari luar negeri) lebih banyak digunakan sebagai bahan baku
dalam proses industri sehingga industri Indonesia sangat bergantung pada barang
impor tersebut.
c) Pembangunan
tidak didistribusikan merata ke seluruh wilayah Indonesia dan ke seluruh rakyat
Indonesia sehingga hanya sedikit elit politik dan birokrat serta pengusaha-pengusaha Cina yang dekat dengan
kekuasaan saja yang menikmati hasil pembangunan.
Pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang
(25-30 tahun) dilakukan orde baru secara periodik 5 tahunan yang disebut Pelita
(Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a)
Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret
1974)
Tujuan dari Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf
hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar – dasar pembangunan dalam
tahap-tahap berikutnya. Sasaran yang hendak dicapai ialah pangan, sandang,
papan, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih
menekankan kepada pembangunan bidang pertanian.
b)
Pelita II (1 April 1974 – 31
Maret 1979)
Sasaran utama Pelita II yaitu tersedianya pangan,
sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan
memperluas kesempatan kerja.
c)
Pelita III (1 April 1979 – 31
Maret 1984)
Pelita III menekankan pada Trilogi Pembangunan dengan
tekanan pada asas pemerataan, yaitu :
Ø
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat
banyak (pangan, sandang dan papan)
Ø
Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
pelayanan kesehatan
Ø
Pemerataan pembagian pendapatan
Ø
Pemerataan kesempatan kerja
Ø
Pemerataan kesempatan berusaha
Ø
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan
Ø
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh
wilayah tanah air dan,
Ø
Pemerataan memperoleh keadilan
d)
Pelita IV (1 April 1984 – 13
Maret 1989)
Pada titik ini pemerintah lebih menitikberatkan kepada
sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri.
e)
Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret
1994)
Pada Pelita ini pemerintah menitikberatkan pada sektor
pertanian dan industri.
f)
Pelita VI (1 April 1994 – 31
Maret 1999)
Pada Pelita VI Pemerintah masih menitikberatkan
pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian
serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya.






0 komentar:
Posting Komentar