A. Standar Kontrak
Pengertian:
·
adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu
secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak
terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan
kondisi para konsumen (Johannes Gunawan)
·
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir (Mariam Badrulzaman)
·
is one in which there is great disparity of bargaining power
that the weaker party has no choice but to accept the terms imposed by the
stronger party or forego the transaction.
·
Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan
atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan
disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat
standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada
kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa
yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model,
rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi
dua yaitu umum dan khusus.
1)
Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan
lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2)
Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan
pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh
pemerintah.
Jenis-jenis kontrak standar
· Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan
persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal,
dapat dibedakan menjadi:
a.
kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b.
kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih
pihak;
c.
kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
· Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang
persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a.
kontrak standar menyatu;
b.
kontrak standar terpisah.
·
Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan,
antara:
a.
kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata-
ngani;
b.
kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan.
B. Jenis-jenis Perjanjian
(a) Perjanjian timbal balik dan Perjanjian
sepihak.
Perjanjian timbal balik (bilateral contract)
adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.
Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa,
pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang
memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya
perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang
menjadi objek perikatan, dan pihak lain berhak menerima benda yang diberikan
itu.
Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini
adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi
biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda
tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam
praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt.
Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan perjanjian itu apabila
perjanjian itu bersifat timbal balik.
(b) Perjanjian percuma dan Perjanjian
dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang
hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai,
perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian
dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra
prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada
hubungannya menurut hukum.
Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak
lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A
menyanggupi memberikan B sejumlah uang, jika B menyerah-lepaskan suatu barang
tertentu kepada A.
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam
soal warisa berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang
merugikan para kreditur (perhatikan pasal 1341 KUHPdt).
(c) Perjanjian Bernama dan Tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang
mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian-perjanjian khusus,
karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar,
pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai
nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
(d) Perjanjian kebendaan dan Perjanjian
obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijke
overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik
dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai pelaksanaan
perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak.
Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran
harga.
Pentinganya pembedaan ini adalah untuk
mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi
perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
(e) Perjanjian konsensual dan Perjanjian
real
Perjanjian konsensual adalah
perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak.
Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga
sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang
bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754
KUHPdt).
Dalam hukum adat, perjanjian real justru
yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum
(perjanjian) yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan
kehendak serentak ketika itu juga terjdi peralihan hak. Hak ini disebut “kontan
atau tunai”.
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian
dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
ü
terdapat kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini
dibuat dengan kesadaran tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun,
sehingga kedua belah pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
ü
kedua belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya,
kedua belah pihak dalam keadaan stabil dan tidak
dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan perjanjian tersebut;
ü
terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya,
perjanjian tersebut merupakan objek yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan;
ü
hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian
yang disepakati merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan
kejahatan.
Orang yang membuat
suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang
sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut
hukum. Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan
sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
ü
orang-orang yang belum dewasa
ü
mereka yang ditaruh didalam pengampunan
ü
orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang
telah melarang membuat perjanjian tertentu.
Dari sudaut rasa
keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan “terikat” oleh
perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun untuk menginsyafi benar-benar akan
tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut
ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat sesuatu perjanjian itu
berarti mempertaruhkan kekayaanya, orang tersebut harus seseorang yang
sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaanny
Orang yang tidak sehat
pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang
yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan
menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada
dibawah kekuasaan pengampunnya. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang
belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang
tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampunan harus
diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
Menurut kitab
Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan
suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin(kuasa tertulis) dari suaminya
(pasal 108 kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Untuk
perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukan dalam
pengertian “keperluan rumah-tangga” maka dianggaplah istri itu telah dikuasai
oleh suaminya. Dengan demikian maka seorang stri dimasukkan dalam golongan
orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaannya dengan
seorang anak yang belum dewasa adalah bahwa seorang anak harus diwakili oleh
orang tua/wali, sedangkan seorang istri harus “dibantu” oleh sang suami. Kalau
seorang dalam membuat suatu perjanjian “diwakili” oleh orang lain, maka ia
tidak membuat perjanjian itu sendiri. Tetapi kalau seorang “dibantu”, ini
berarti bahwa ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang
membantunya itu. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin
tertulis.
Dan terdapat syarat
perjanjian objektif dan subjektif. Dalam halnya suatu syarat objektif, maka
kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi hukum”.
Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah
ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut, yakni
melahirkan suatu perkaitan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada
dasar untuk saling menuntut dimuka hakim.
Dalam hal syarat
subjektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi
hukum, tetap salah satu pihka mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu
digagalkan. Pihak yang meminta pemnbatalan itu adalah pihak yang tidak cakap
atau pihak yang memberi kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian
yang dibuatnya itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim)
atas permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi. Dengan demikian nasib
sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan
suatu pihak untuk menaatinya.
D. Pembatalan dan Pelaksanaan
suatu perjanjian
1.
Pembatalan suatu perjanjian
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu
perjanjian telah diterangkan bahwa apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka
perjanjiannya batal demi hukum (null and void). Dalam hal demikian maka secara
yuridis dari semula tidak ada perjanjian dan semula tidak ada perikatan antara
orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk
melakukan suatu perjanjian yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal.
Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakin karena
dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya menyatakan
tidak ada perjanjian atau perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian,
ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, perjanjian ini bukan batal demi
hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak.
Pihak ini adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum, dan pihak yang
memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang ada kekurangannya
mengenai syarat-syarat subjektifnya yang tersinggung adalah kepentingan
seseorang, yang mungkin tidaak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya.
Oleh karna itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subjektif, oleh
Undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki
pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya
batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembatalan.
Dalam hukum perjanjian
ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidaak bebas, yaitu:
ü Pemaksaan adalah pemaksaan rohani
atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan.
ü Kekhilafan atau Kekeliruan, Apabila
salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian,
ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut
harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal
tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
ü Penipuan, Apabila satu pihak
dengan sengaja memberikan keterangan –keterangan palsu atau tidak benar
disertai dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat), untuk membujuk para
lawannya memberikan perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif
untuk menjerumuskan pihak lawannya.
Dengan demikian maka
ketidak-cakapan dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijian dalam suatu
perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak
bebas dalam memberikan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan
perjanjiannya. Dengan sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan dari
orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan. Hak meminta pembatalan
hanya ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang diberi
perlindungan. Meminta pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dibatasi sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun: dalam
hal ketidak-cakapan suatu pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam hal
paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti.
Dalam hal kehilafan atau penipuan sejak
lahir diketahuinya kehilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak
berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembela atau tangkisan yang
mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk meminta pembatalan
perjanjian. Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai
penggugat meminta kepada hakin untuk mempbatalkan perjanjian. Kedua, menunggu
sampai ia diguga dimuka hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Terhadap azas
konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya yaitu, oleh
Undang-undang ditetapka suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian,
misalnya perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte
notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya.
Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara
tertentu, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yag demikian itu
tidak memenuhi formalitas akan ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah batal
demi hukum.
2. Pelaksanaan suatu perjanjian
Suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana
dua orang saling berjanji untuk melasanakan sesuatu. Menilik macam-macamnya hal
yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian dibadi menjadi tiga macam:
1)
Perjanjian untuk memberikan / menyerahkan suatu barang.
Contohnya: jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau
pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai.
2)
Perjanjian untuk berbuat sesuatu
Contohnya: perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian
perburuhan, perjanjian untuk membuat garansi, dan lain-lain.
3)
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Contohnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian
untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang
lain dan sebaginya.
Suatu persoalan hukum
dalam hukum perjanjian ialah persoalan apakah jika si berhutang atau si
debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan
sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si berpiutang dapat
dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang
menjadi haknya menurut peranjian. Jika itu terjadi, kemungkinan perjanjian tadi
dapat dieksekusi secara rill.
Perjanjian untuk berbuat
sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga secara ,udah dapat dijalankan secara
rill, asal saja bagi si berpiutang (kreditur)tidak penting oleh siapa perbuatan
itu dilakukan , misalnya membeuat sebuah garasi, yang dapat dengan mudah
dilakukan oleh orang lain. Kalau yang harus dibuat itu adalah lukisan,
perbuatan itu dapat dillakukan oleh orang lain selain pelukis yang menjanjikan
sebiuh lukisan. Karena itu, maka perjanjian bersifat sangat pribadi , tidak
dapat dilaksanakan secara rill, apabila pihak yang menyanggupi melakukan hal tersebut
tidak menepati janjinya.
Perjanjian memberikan
barang tertentu (artinya barang yang telah disetujui atau dipilih), dapat
dikatakan bahwa ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi rill
itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang yang bergerak yang
tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi rill tak mungkin
dilakukan.
Untuk melaksanakan
suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa
saja isi dari perjanjian-perjanjian tersebut. Menurut pasal 1339 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan dan Undang-undang. Dengan demikian maka setiap perjanjian dilengkapi
dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-undang, yang terdapat dalam
adat kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan
harus diindahkan.
E.
WANPRESTASI
dan akibat-akibatnya
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa
yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “waprestasi”. Ia alpa atau
“lalai” atau ingkar janji. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa
Belanda,yang berarti prestasi buruk.
Wanprestasi
seorang debitur dapat berupa empat macam :
a.
Tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya;
b. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan
apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat;
d. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi
debitur yang lalai ada empat macam, yaitu :
1. Membayar
kerugian yag diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi;
2. Pembatalan
perjanjia atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan
resiko;
4. Membayar
biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim;
Tentang
bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur, agar jika ia tidak memenuhi teguran
itu dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk oleh pasal 1238 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.pasal itu berbunyi sebagai berikut : “si berutang adalah lalai, bila ia dengan
surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau
demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Sebagai kesimpulan
dapat ditetapkan, bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai
berikut :
1. Pemenuhan
perjanjian;
2. Pemenuhan
perjanjian disertai ganti rugi;
3. Ganti
rugi saja;
4. Pembatalan
perjanjian;
5. Pembatalan
disertai ganti rugi.
Sumber:
-Katuuk,
Neltje F. 1994. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Februari










